Kamis, 11 Desember 2008

Teknologi Revolusioner Anti Penyalaan Ulang

Adalah suatu media berbahan dasar air (water base) pemadam api yang dicampur dengan larutan konsentrat (temuan Randall Hart , 1979), serta berwawasan lingkungan.
•Efektif untuk kelas api ABCD
•Memiliki formula Anti Penyalaan Ulang pertama di dunia.
•Daya jangkau 5-15 meter.

Teknologi Revolusioner Anti Penyalaan Ulang

Teknologi Pengganti Halon (BCF/BTM), Hartindo AF11E


Adalah suatu media pemadam api Berbahan Dasar Gas, hasil penggabungan Larutan Konsentrat (temuan Bapak Randall Hart, 1979) dengan Halocarbon (clean agent) dengan keunggulan:
1. Kemampuan pemadaman api 1 : 1 dengan Halon (BCF/BTM)
2. Rating Api : B.S. 5423 : 1987 UK
3. Daya Padam 2,5 Kg 8A 70B
4. Kelas Api ABC
5. Bersih tidak ada bekas dan ramah lingkungan
6. Formula anti api yang membunuh api secara kimiawi
7. 3x lebih kuat memadamkan api sehingga dengan rating yang sama, kapasitas APAR lebih kecil / ringan
8. Tidak menimbulkan kerusakan sekunder
9. Tidak berbahaya bagi operator

Teknologi Revolusioner Anti Api Temuan Putra Indonesia


Tahun 1979, Randall Hart menemukan bahan kimia yang dinamakan PROPRIETARY BRAND (larutan konsentrat) yang menjadi cikal bakal terciptanya berbagai jenis bahan kimia anti api yang ramah lingkungan dengan standart dunia.
Berasal mula dari itu, memproduksi dan memasarkan ke pasar global membuat Hartindo menjadi satu-satunya manufaktur Media Alat Pemadam di Asia. Hartindo juga memiliki global company antara lain: Indonesia (Jakarta dan Surabaya), Inggris (London), Malaysia (Subang), Saudi Arabia (Dammam), Perancis (Lyon) dan Canada (Toronto). Temuan Randall Hart tersebut antara lain: Hartindo AF11E, Hartindo AF11, Hartindo AF31, Hartindo AF21.
Bahkan berdasarkan liputan majalah SWA (edisi November-Desember 2007) Hartindo termasuk 10 perusahaan Indonesia yang berhasil menguasai pasar dunia.

Atas dedikasinya tersebut, beliau tidak hanya menjual tetapi membuat terobosan baru dengan menyewakan produk ciptaannya bagi masyarakat Indonesia. Impian beliau adalah menjadikan Indonesia bebas dari bahaya kebakaran.

Waspada Kebakaran.blogspot.com

kebakaran bisa terjadi dimanapun, kapanpun dan kondisi apapun kita. maka dari itu waspadalah terhadap bahaya kebakaran..

Rabu, 10 Desember 2008

Merubah Beban Biaya Pembelian Apar Menjadi Keuntungan


Satu-satunya solusi revolusioner pertama kali di dunia dan di Indonesia untuk mengatasi permasalahan pengusaha dalam pengadaan alat pemadam kebakaran hanya dipersembahkan oleh PT Sanindo Perkasa Abadi.

Berasal mula dari hasil penemuan Teknologi Anti Api Bapak Randall Hart di London 1979, memproduksi dan memasarkan ke pasar global membuat perusahaan kami sebagai satu-satunya manufaktur di Asia, Hartindo juga memiliki global company antara lain: Indonesia (Jakarta dan Surabaya), Inggris (London), Malaysia (Subang), Saudi Arabia (Dammam), Perancis (Lyon) dan Canada (Toronto). Berdasarkan liputan majalah SWA (edisi November-Desember 2007) Hartindo termasuk 10 perusahaan Indonesia yang berhasil menguasai pasar dunia

Dengan mempunyai kelebihan ramah lingkungan, aman bagi manusia dan elektronik, memadamkan api secara kimia, formula anti penyalaan ulang, bersih dan tidak menimbulkan kerusakan skunder, maka Hartindo merupakan solusi tepat bagi kebutuhan bahaya kebakaran. Segala kelebihan tersebut di atas telah melalui sertifikasi produk Internasional dan diakui oleh dunia antara lain BS 5432 (Bristish Standart), EN3 Eropa, SGS UK, dll.

Melalui sistem sewa yang disebut SOS (Sanindo Outsourcing Solution) konsumen dapat menyulap biaya pembelian menjadi keuntungan. Konsumen hanya membayar 3% per bulan dari harga beli.

5 keuntungan tambahan dalam progran sewa ini adalah:
1. Bebas biaya refill bila terjadi pemakaian karena kebakaran.
2. Bebas biaya refill jika kadaluarsa.
3. Bebas biaya pemeliharaan.
4. Bebas biaya penggantian alat pemadam jika ikut terbakar.
5. Efesiensi luar biasa secara finansial.

Dengan kondisi di atas, jelas bahwa hanya dengan SOS, kami memberikan jawaban atas semua permasalahan pengusaha dalam hal pengadaan alat pemadam kebakaran, apalagi produk yang disewakan tidak hanya APAR, tetapi juga sistem otomatis.

Penghematan 97% dari biaya pembelian pemadam yang tidak digunakan dapat diinvestasikan ke bisnis inti, dimana keuntungan dapat digunakan kembali sebagai pembayaran SOS. Dapat dipastikan apabila konsep SOS ini dapat / benar-benar diterapkan di perusahaan anda, perusahaan bukan hanya menutupi biaya sewa APAR saja melainkan dapat menutupi biaya-biaya lain seperti telepon, listrik dan air. Pada akhirnya solusi revolusioner SOS kami membuat konsumen bisa lebih sehat dan mampu bersaing di pasar global.

Problematika Pembelian APAR


Di samping problem dalam hal penggunaan media, pengusaha dihadapkan juga pada masalah pembelian alat pemadam kebakaran (apar).
Diantaranya, pembelian Apar selama ini (biasanya) masuk dalam pos biaya asset yang menjadi beban anggaran perusahaan. Namun tidak memberikan keuntungan atau benefit secara langsung, kecuali hanya safety dari bahaya kebakaran.

Sementara itu, apar tidak punya nilai jual sama sekali, bahkan butuh biaya dalam pemeliharaannya, karena memiliki masa kadaluarsa. Budaya pengadaan apar dengan cara membeli, secara tidak langsung akan mengganggu cash-flow perusahaan dan sangat tidak efisien. Mengingat persaingan usaha yang demikian ketat dan menuntut pengusaha untuk melakukan efisiensi dalam segala hal. Temasuk dalam pengadaan apar.

Bagi pengusaha, perlu dicermati juga adanya praktek personal interest antara bagian pembelian dengan suplier. Tentu akan merugikan perusahaan. Karena kasus ini sering terjadi di lapangan dan hanya untuk kepentingan pribadi.

Kerugian lain yang ditanggung oleh pengusaha yaitu pada saat masa kadaluarsa (masa kadaluarsa DCP 6 -12 bulan), harus mengeluarkan biaya lagi untuk membeli refillnya. Apalagi jika terjadi pemakaian karena kebakaran. Tentu harus beli refill lagi. Sama halnya “sudah jatuh tertimpa tangga”. Pengusaha sudah rugi karena kerusakan akibat kebakaran, malah harus mengeluarkan dana lagi untuk mengisi tabung apar yang sudah dipakai. Sangat tidak efesien. Belum lagi untuk biaya maintenance, presure drop dan bocor tentu banyak dana yang terbuang percuma.

Bukan rahasia lagi, kondisi hukum di Indonesia terhadap para pemalsu produk sangat lemah. Produk ilegal (hanya mengeruk keuntungan pribadi) yang membahayakan konsumen dengan mudah kita temui di pasaran. Misal; bubuk mrica dicampur semen, bakso daging tikus, sapi glongong, ayam formalin, bawang goreng dicampur dengan ubi.

Begitu mudahnya orang melakukan pemalsuan produk yang sering dibutuhkan (konsumsi) apalagi produk yang diharapkan tidak dipakai atau jarang dipakai (alat pemadam kebakaran). Tentu praktek pemalsuan itu akan sulit terdeteksi oleh konsumen awam, yang nota bene butuh Apar karena ditakut-takuti oleh oknum berwenang.

Di Indonesia, banyak distributor alat pemadam yang mengaku sebagai agen tungal dari merk tertentu. Namun pada kenyataannya saat ditanyakan surat penunjukan keagenan, mereka tidak bisa menunjukan. Mereka hanya mengejar keuntungan belaka tanpa memperhatikan keselamatan konsumen. Di samping itu tidak adanya jaminan keaslian produk dari manufaktur. Banyak distributor yang mengaku bisa melakukan pengisian refill, ternyata di orderkan ke orang lain. Mereka hanya sebagai calo pengisian media. Parahnya lagi saat refill hanya dilakukan penggantian stiker saja.

Kasus atau modus operandi lain pengadaan apar dengan cara beli yang merugikan pengusaha antara lain; adanya pemalsuan merk atau media pemadam yang resmi, pembuatan merk ilegal yang dibuat seakan-akan resmi. Bahkan mengganti media apar dengan bahan yang beracun.
Kondisi di atas memaksa pengusaha untuk berpikir lebih jauh saat akan membeli apar. Sebab tak jarang terjadi pula, apar yang di beli tidak memiliki sertifikasi yang berkompeten. Bahkan tidak memiliki jaminan keaslian produk langsung dari manufaktur.

Jika kita masih melakukan pengadaan alat pemadam DCP, Halon atau CO2 sama halnya kita menyerahkan keselamatan kita (berobat) pada orang yang mengaku sebagai dokter tetapi tidak pernah kuliah di fakultas kedokteran. Apalagi teknologi asset yang kita miliki semakin modern dan harganya mencapai ratusan juta rupiah, tetapi alat untuk melindungi asset dan nyawa kita dari bahaya kebakaran masih ketinggalan jaman, dilarang, murah meriah, beracun bahkan palsu!!

Problematika APAR CO2


Selain mengakibatkan Efek Pemanasan Global ternyata CO2 juga membunuh manusia.

Kondisi itu terjadi karena tekanan tinggi CO2 (70 bar) menyebabkan handle tidak kuat mendapat tekanan dan langsung mengantam muka teknisi yang akan melakukan maintenace. Bahkan berdasarkan data EPA (United States Environmental Protection Agency) America Carbon Dioxide as A Fire Suppressant Examining The Risk Februari 2000, dari 62 Incident, 119 orang tewas, 152 orang luka-luka dan keracunan.
Di samping itu, tekanan yang tinggi juga mengakibatkan tabung CO2 harus tebal. Akibatnya sangat berat bagi penggunanya, sebagai contoh isi media CO2 5 kg memiliki berat total + 25kg. Padahal 99% kebakaran terjadi di dalam ruangan yang mengetahui pertama adalah wanita. Bisa dibayangkan jika terjadi kebakaran wanita akan kesulitan untuk mengangkat APAR dari braketnya.
Selain itu, untuk memadamkan api CO2 membutuhkan 50% Design Consentrate. Api di dalam ruangan menghabiskan + 50% oksigen dan CO2 yang ditembakkan mengusir oksigen 50%. Sebelum apinya mati, pengguna akan mati duluan.

Bahaya lain dari CO2 adalah di suhunya yang dingin. Pada saat keluar dari nozzle / corong adalah -34oC. Suhu yang sangat dingin ini berpotensi menyebabkan frostbite atau mati jaringan tubuh karena terkena suhu yang sangat dingin
CO2 bila ditembakkan ke peralatan elektronik yang sedang beroperasi akan menyebabkan komponen elektronik pecah karena pada saat beroperasi semua peralatan elektronik akan menimbulkan panas. Bila CO2 ditembakkan dengan suhu -34oC pada saat elektronik bekerja maka perubahan suhu dari panas menjadi sangat dingin (-34oC) akan menyebabkan komponen elektronik pecah.
Kelemahan lain CO2 hanya cocok untuk api kelas B dan C, padahal 99% kebakaran adalah kelas A. kemudian daya pancar lemah, mudah menguap, untuk memadamkan api harus dekat sumber kebakaran.

Problematika Apar Halon

Potensi merusak lapisan ozon dari Halon 1211 (BCF) adalah 6 kali, dan Halon 1301 (BTM) adalah 10 kali lebih besar dibandingkan dengan CFC.

Selama ini kita mengetahui Halon merupakan bahan kimia gas pemadam api terbaik dan tercanggih serta bersih, cocok untuk kebakaran kelas A,B dan C, namun telah dilarang peredarannya di dunia karena merusak lapisan ozon. Ternyata ditemukan juga bahwa Halon bila terkena api akan menimbulkan racun yang bernama bromofsgene dan berbahaya bagi manusia.

Pelarangan penggunaan halon tersebut dilakukan oleh seluruh dunia sudah dan penghentian produksinya sejak tahun 1996. Sedangkan di Indonesia larangan penggunaan halon ini berlaku Januari 2005 oleh Badan Lingkungan Hidup Indonesia dan sesuai keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.110 tahun 1998 tentang : larangan memproduksi dan memperdagangkan bahan perusak lapisan ozon serta memproduksi dan memperdagangkan barang baru yang mengunakan bahan perusak lapisan ozon (Ozone Depleting Substances).

Melihat kondisi di atas, pada bulan Maret 2000, Pemerintah Indonesia mendapat mandat dari Multilateral Fund untuk membentuk Bank Halon Nasional (Indonesian Halon Bank). Lembaga tersebut merupakan lembaga dengan sistem yang akan mengelola dan mengendalikan pemakaian persediaan Halon secara terencana dan tepat guna. Bank Halon Indonesia dikelola oleh Garuda Maintenance Facility (GMF AeroAsia) dibawah manajemen PT Garuda Indonesia.

Kegiatan utama proyek ini adalah inventarisasi pemakaian halon, penyusunan database halon, pengembangan clearing house, pembangunan fasilitas uji, pelaksanaan sosialisasi alternatif bahan pengganti halon, pengumpulan sisa halon yang tersedia, pelaksanaan daur ulang halon dan penentuan kriteria essential uses.

Dalam pengelolaan Bank Halon, GMF AeroAsia berkoordinasi dengan Unit Ozon Kementerian Lingkungan Hidup yang bertindak sebagai Clearing House, dibantu oleh tim teknis yang terdiri dari wakil instansi, lembaga penelitian, industri dan assosiasi profesi. Jumlah konsumsi Halon yang harus dihapus adalah sebesar 205 MT per tahun.

Ironisnya larangan pemakaian Halon sebagai media alat pemadam kebakaran ini tidak di informasikan secara detail bahkan ditutup-tutupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Dapat kita temui dengan mudah terjadinya pemalsuan dan pengaburan jenis media Halon ini. Modusnya antara lain, penggantian stiker media tetap, penghilangan asal barang, penggantian nama dari Halon menjadi Halom, dll.

Dari praktek manipulasi yang dilakukan oleh distributor nakal tersebut jelas-jelas sangat merugikan konsumen, karena memakai barang yang dilarang, palsu dan ilegal. Macam macam Halon di Indonesia : Halon 1211(BCF) untuk Alat Pemadam Api Ringan (APAR), Halon 1301 (BTM) untuk fixed system (sistem tetap) untuk melindungi ruangan Komputer, arsip, radar dan lainnya.

Pelarangan Halon tersebut diperkuat dengan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menperindag RI No:33/M-IND/PER/4/2007 tentang Larangan Memproduksi dan menggunakan Bahan perusak lapisan ozon.

Dalam pasal 9 menyebutkan “Perusahaan Industri yang melanggar ketentuan Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri dan atau saksi lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”.

Problematika Apar Dry Chemical Powder


Banyak problematika saat menggunakan Alat Pemadam yang bermedia Dry Chemical Powder (DCP). Keluhan para konsumen pemakai Apar DCP timbul saat mereka menggunakan untuk memadamkan kebakaran. Jadi kita perlu pertimbangan teknis yang matang sebelum memutuskan menggunakan apar jenis DCP.



Masalah yang timbul dalam pemakaian DCP antara lain:





  1. Macet pada saat digunakan. Kondisi ini timbul karena secara material, powder berupa serbuk yang pada dasarnya akan menggumpal jika terkena hawa dingin atau dibiarkan saja tanpa di kocok-kocok. Apalagi untuk Apar DCP yang menggunakan tekanan langsung CO2 atau N2 secara otomatis terkena efek dingin. Akibatnya DCP akan menggumpal. Jika dipakai maka yang keluar hanya gas pendorongnya saja.


  2. Apar DCP harus dikocok. Maintenance apar DCP memng harus dikocok sebulan sekali minimal 15 kali kocokan agar tidak menggumpal. Kondisi ini membuat para pengusaha harus menyediakan tenaga maintenance tersendiri. Bisa dibayangkan jika dalam perusahaan ada 20 atau lebih apar DCP dengan variasi berat 6-20 Kg, maka berapa waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia untuk maintenance.


  3. Adanya petugas maintenance yang nakal, aparnya tidak dikocok, namun dalam ceklist rutin ditulis sudah dikocok. Hasilnya apar menggumpal dan macet. Ironisnya kemacetan ini baru diketahui saat latihan atau pemakaian saat kebakaran.


  4. Tidak bisa melakukan kontrol secara visual. Pada pemakaian apar DCP model catridge, konsumen tidak bisa mengetahui apakah tekanan gas CO2 (untuk pendorongnya) masih ada atau sudah habis. Mereka baru bisa mengetahui pada saat digunakan. Baik saat latihan atau saat kebakaran. Hasilnya saat dipakai media DCP tidak keluar sama sekali. Kejadian lain dalam pemakaian apar DCP model catridge.


  5. Tekanan CO2 bocor. Sering kali pada saat penggunaan apar DCP catridge, gas pendorongnya (CO2) bocor. Hasilnya media tidak keluar sama sekali.


  6. Terjadinya penyalaan ulang. Jika terjadi kebakaran, bahan yang terbakar masih bisa menyala kembali. Karena DCP tidak memiliki formula anti penyalaan ulang.


  7. Terjadinya kerusakan sekunder (colateral damage). Dapat dipastikan Mesin produksi dan alat elektronik rusak akibat korosif yang ditimbulkan oleh DCP.


  8. Bahan baku atau material produksi rusak jika terkena DCP. Bahan baku yang sudah terkonaminasi serbuk DCP asti rusak dan harus dibuang.


  9. Kotor dan susah dibersihkan. Ruangan atau tempat yang terkena DCP sangat susat dibersihkan apalagi secara kimia, serbuk DCP yang terkena panas akan lengket seperti lem.


  10. 90 % kebakaran terjadi di dalam ruangan. Sering kita temui demo DCP dilakukan di ruang terbuka, padahal kebakaran 90 % terjadi di dalam ruangan. Bisa dibayangkan jika ruangan yang terbakar sudah dipenuhi racun asap, ditambah lagi dengan serbuk DCP, kondisi ini sangat membahayakan pemakai (sesak nafas, perih dimata dan merusak paru-paru). Ibarat orang buta disuruh memadamkan api. Bahkan ada satu insiden kebakaran yang menewaskan 1 pekerja. Tewasnya pekerja itu akibat terkena lepengan tabung catridge yang jebol (korosif).


Ternyata efek berantai yang ditimbulkan oleh apar DCP banyak merugikan pengusaha dan pekerja daripada kemampuan memadamkan apinya. Biaya yang dikeluarkan setelah pemakaian DCP sangat besar dibandingkan harga DCP yang murah meriah. Belum lagi jika terjadi korban jiwa akibat menghirup DCP, tentu biaya dan waktu yang dikeluarkan akan tambah menyita energi pengusaha.

Beli Kucing Dalam Karung

Banyak dari kita yang belum bisa membedakan antara tabung dan media pemadamnya (isi tabung sebagai media pemadam). Bahkan tidak jarang diantara masyarakat yang menganggap merek XXX, yang tertera di tabung pemadam sebagai merek media pemadamnya. Padahal XXX adalah merk tabungnya saja.
Sedikitnya terdapat empat jenis media alat pemadam yang beredar di Indonesia. Antara lain, Powder (DCP), Foam, CO2 dan Liquid Gas. Sementara itu merk dagangnya pun sangat banyak bahkan ratusan.
Di samping itu, banyak yang tidak diketahui oleh publik, bahwa hampir semua jenis media pemadam adalah barang impor, khususnya jenis Dry Chemical Powder (DCP) dan Foam. Sementara itu jenis Liquid gas ada yang impor dan ada yang produksi dalam negeri. Khusus liquid gas import rata-rata jenis Halon (Bromo Chlorodi Fluoromethane / BCF).
Ironisnya Impor bahan media pemadam itu umumnya dilakukan “Penghilangan Merk” oleh importirnya yang nota bene juga sebagai distributor di pasar indonesia. Misal DCP tertentu dari Cina, diberi merk lain seakan-akan diimpor dari Amerika. Berdasarkan data kajian dari Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya (LPKS), kasus penggantian nama merk mencapai 80% dari total perdagangan alat pemadam api di Indonesia. Alih-alih memiliki alat pemadam yang baik, ternyata konsumen mendapatkan Apar yang palsu dan ilegal.
Bahkan ada salah satu perusahaan di Surabaya terjebak dalam dilema, saat memadamkan kebakaran. Bagaimana tidak, api menjalar di salah satu panel mesin produksi, jika tidak dipadamkan api akan menghanguskan pabrik. Namun jika dipadamkan dengan Dry Chemical Powder akan merusak mesin produksi. Tidak ada pilihan lain, akhirnya api terpaksa dipadamkan dengan Apar DCP. Alhasil api memang mati.
Namun kerugian yang diderita akibat pemakaian Apar DCP sangat besar. Mesin produksinya jadi rusak dan korosif. Jika ditotal kerugiannya mesin rusak mencapai ratusan juta. Belum lagi kerusakan bahan baku roduksi serta material produksi juga ikut rusak. Ditambah lagi adanya pemasukan yang hilang akibat mesin tidak berproduksi.
Di samping permasalahan penggunaan Apar DCP, konsumen juga memiliki masalah dalam penggunaan Apar jenis Halon (BCF). Banyak masyarakat yang belum mengetahui atau bahkan “tutup mata” kalau Halon sudah dilarang oleh pemerintah karena merusak lapisan ozon. Ironisnya di pasaran, konsumen dirugikan lagi oleh distributor. Modusnya huruf B (BCF) dihilangkan/dihapus, kemudian dibelakang huruf CF ditambahkan angka 21 (pake spidol atau huruf gosok).
Hal ini jelas-jelas menipu dan merugikan konsumen, sebab berdasarkan peraturan pelarangan Halon Menperindag RI No:33/M-IND/PER/4/2007 tentang Larangan Memproduksi dan menggunakan Bahan perusak lapisan ozon, pasal 9 “Perusahaan Industri yang melanggar ketentuan Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri dan atau saksi lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”.
Melihat kondisi dan akibat pemakaian di atas, akankah tetap kita percayakan proteksi asset kita dengan Apar “murah meriah” yang belum jelas kualitas dan asal usulnya??? Mana yang kita pentingkan? Asset kita yang mahal atau Apar yang “murah meriah” dan sekedar syarat!!