Rabu, 10 Desember 2008

Problematika Pembelian APAR


Di samping problem dalam hal penggunaan media, pengusaha dihadapkan juga pada masalah pembelian alat pemadam kebakaran (apar).
Diantaranya, pembelian Apar selama ini (biasanya) masuk dalam pos biaya asset yang menjadi beban anggaran perusahaan. Namun tidak memberikan keuntungan atau benefit secara langsung, kecuali hanya safety dari bahaya kebakaran.

Sementara itu, apar tidak punya nilai jual sama sekali, bahkan butuh biaya dalam pemeliharaannya, karena memiliki masa kadaluarsa. Budaya pengadaan apar dengan cara membeli, secara tidak langsung akan mengganggu cash-flow perusahaan dan sangat tidak efisien. Mengingat persaingan usaha yang demikian ketat dan menuntut pengusaha untuk melakukan efisiensi dalam segala hal. Temasuk dalam pengadaan apar.

Bagi pengusaha, perlu dicermati juga adanya praktek personal interest antara bagian pembelian dengan suplier. Tentu akan merugikan perusahaan. Karena kasus ini sering terjadi di lapangan dan hanya untuk kepentingan pribadi.

Kerugian lain yang ditanggung oleh pengusaha yaitu pada saat masa kadaluarsa (masa kadaluarsa DCP 6 -12 bulan), harus mengeluarkan biaya lagi untuk membeli refillnya. Apalagi jika terjadi pemakaian karena kebakaran. Tentu harus beli refill lagi. Sama halnya “sudah jatuh tertimpa tangga”. Pengusaha sudah rugi karena kerusakan akibat kebakaran, malah harus mengeluarkan dana lagi untuk mengisi tabung apar yang sudah dipakai. Sangat tidak efesien. Belum lagi untuk biaya maintenance, presure drop dan bocor tentu banyak dana yang terbuang percuma.

Bukan rahasia lagi, kondisi hukum di Indonesia terhadap para pemalsu produk sangat lemah. Produk ilegal (hanya mengeruk keuntungan pribadi) yang membahayakan konsumen dengan mudah kita temui di pasaran. Misal; bubuk mrica dicampur semen, bakso daging tikus, sapi glongong, ayam formalin, bawang goreng dicampur dengan ubi.

Begitu mudahnya orang melakukan pemalsuan produk yang sering dibutuhkan (konsumsi) apalagi produk yang diharapkan tidak dipakai atau jarang dipakai (alat pemadam kebakaran). Tentu praktek pemalsuan itu akan sulit terdeteksi oleh konsumen awam, yang nota bene butuh Apar karena ditakut-takuti oleh oknum berwenang.

Di Indonesia, banyak distributor alat pemadam yang mengaku sebagai agen tungal dari merk tertentu. Namun pada kenyataannya saat ditanyakan surat penunjukan keagenan, mereka tidak bisa menunjukan. Mereka hanya mengejar keuntungan belaka tanpa memperhatikan keselamatan konsumen. Di samping itu tidak adanya jaminan keaslian produk dari manufaktur. Banyak distributor yang mengaku bisa melakukan pengisian refill, ternyata di orderkan ke orang lain. Mereka hanya sebagai calo pengisian media. Parahnya lagi saat refill hanya dilakukan penggantian stiker saja.

Kasus atau modus operandi lain pengadaan apar dengan cara beli yang merugikan pengusaha antara lain; adanya pemalsuan merk atau media pemadam yang resmi, pembuatan merk ilegal yang dibuat seakan-akan resmi. Bahkan mengganti media apar dengan bahan yang beracun.
Kondisi di atas memaksa pengusaha untuk berpikir lebih jauh saat akan membeli apar. Sebab tak jarang terjadi pula, apar yang di beli tidak memiliki sertifikasi yang berkompeten. Bahkan tidak memiliki jaminan keaslian produk langsung dari manufaktur.

Jika kita masih melakukan pengadaan alat pemadam DCP, Halon atau CO2 sama halnya kita menyerahkan keselamatan kita (berobat) pada orang yang mengaku sebagai dokter tetapi tidak pernah kuliah di fakultas kedokteran. Apalagi teknologi asset yang kita miliki semakin modern dan harganya mencapai ratusan juta rupiah, tetapi alat untuk melindungi asset dan nyawa kita dari bahaya kebakaran masih ketinggalan jaman, dilarang, murah meriah, beracun bahkan palsu!!

1 komentar:

  1. Wah makin banyak aja alat untuk mencegah atau menanggulangi kebakaran, semoga hasil produk kreativitas masyarakat dapat digunakan untuk membantu sesama.

    Regards,
    Bali Property

    BalasHapus